Bukan Pujian, Ini Pelecehan: Membedah Bahaya Catcalling dan Dampak Luka Tak Terlihatnya
"Hai, Cantik!", "Suit-suit!", "Mau ke mana, Neng? Abang anterin, yuk!"
Kalimat-kalimat ini mungkin terdengar familiar di telinga banyak perempuan saat berjalan sendirian di ruang publik. Seringkali dianggap sebagai "candaan iseng" atau bahkan "pujian" oleh pelaku, tindakan ini memiliki nama: catcalling. Namun, di balik topeng candaan itu, tersimpan sebuah bentuk pelecehan verbal yang serius dengan dampak psikologis yang nyata dan seringkali merusak.
Catcalling bukanlah pujian. Ia adalah sebuah intrusi, sebuah tindakan yang merampas rasa aman seseorang di ruang yang seharusnya menjadi milik bersama. Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi perilaku ini dan mulai memahami betapa berbahayanya luka tak terlihat yang ditimbulkannya.
Apa Sebenarnya Catcalling Itu? Lebih dari Sekadar Sapaan Iseng
Catcalling adalah bentuk pelecehan di ruang publik (street harassment) yang bersifat verbal maupun non-verbal yang tidak diinginkan. Tujuannya bukan untuk memberikan apresiasi tulus, melainkan untuk menunjukkan dominasi, mengintimidasi, dan mengobjektifikasi targetnya, yang mayoritas adalah perempuan.
Bentuknya sangat beragam, mulai dari:
Siulan atau suara kecupan yang ditujukan kepada orang yang lewat.
Komentar tidak senonoh mengenai penampilan, bentuk tubuh, atau pakaian seseorang.
Panggilan dengan sebutan merendahkan seperti "sayang", "manis", atau "cantik" oleh orang asing.
Membunyikan klakson kendaraan secara berlebihan untuk menarik perhatian.
Tatapan yang intens dan mengintimidasi yang membuat seseorang merasa tidak nyaman.
Dalih bahwa ini adalah "cara memuji" adalah sebuah miskonsepsi besar. Pujian yang tulus datang dari rasa hormat dan tidak membuat penerimanya merasa terancam, terpojok, atau direndahkan menjadi sekadar objek visual.
Luka Tak Terlihat: Dampak Psikologis Catcalling pada Korban
Bagi pelaku, catcalling mungkin hanya berlangsung beberapa detik. Namun bagi korban, dampaknya bisa bertahan berjam-jam, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun. Ini bukanlah reaksi yang "berlebihan" atau "baper", melainkan respons psikologis yang wajar terhadap sebuah ancaman.
Rasa Takut, Cemas, dan Hilangnya Rasa Aman
Dampak yang paling langsung dirasakan adalah hilangnya rasa aman. Ruang publik yang seharusnya netral—seperti jalanan, trotoar, atau angkutan umum—berubah menjadi zona berbahaya. Korban akan merasa cemas, terus-menerus waspada (hypervigilant), dan takut bahwa pelecehan verbal tersebut bisa meningkat menjadi pelecehan fisik.
Objektifikasi dan Penurunan Rasa Percaya Diri
Catcalling mereduksi seorang individu menjadi sekadar objek. Komentar tentang bagian tubuh membuat korban merasa dinilai hanya dari fisiknya, bukan sebagai manusia utuh. Hal ini dapat memicu rasa malu terhadap tubuh sendiri (body shaming) dan menyalahkan diri sendiri (self-blame). Korban mungkin mulai mempertanyakan penampilannya: "Apakah pakaianku yang salah?", "Apakah cara jalanku yang mengundang?"
Trauma Jangka Panjang dan Pembatasan Diri
Jika dialami berulang kali, catcalling dapat menumpuk menjadi sebuah trauma. Korban mungkin mulai mengubah perilakunya untuk menghindari pelecehan. Ia bisa jadi akan:
Menghindari rute atau tempat tertentu.
Mengubah gaya berpakaiannya menjadi lebih tertutup, bukan karena keinginan pribadi tapi karena rasa takut.
Membatasi aktivitasnya di luar rumah, terutama saat sendirian atau di malam hari.
Kemarahan dan Rasa Tidak Berdaya
Di samping rasa takut, muncul pula kemarahan dan frustrasi. Marah karena dilecehkan, dan frustrasi karena seringkali tidak ada yang bisa dilakukan. Melawan balik bisa berisiko memicu agresi dari pelaku, sementara diam saja terasa seperti membiarkan diri direndahkan. Perasaan tidak berdaya ini sangat menguras energi mental.
Payung Hukum dan Tanggung Jawab Kita Bersama
Kabar baiknya, payung hukum di Indonesia kini mulai mengakui bahaya ini. Melalui UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), pelecehan seksual non-fisik, termasuk siulan atau komentar bernuansa seksual yang tidak diinginkan, kini dapat dijerat secara hukum.
Namun, hukum saja tidak cukup. Perubahan harus dimulai dari kesadaran kolektif. Menghentikan catcalling adalah tanggung jawab kita bersama. Edukasi bahwa ini bukan pujian, menanamkan rasa hormat, dan keberanian untuk menegur (jika situasi aman) adalah langkah-langkah kecil yang bisa menciptakan ruang publik yang lebih aman dan manusiawi untuk semua.
Sumber foto: IG/asyaherby
0 Komentar