MK tolak nikah beda agama di Indonesia

Belum lama ini, Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menetapkan keputusan yang menolak permintaan seorang pemohon untuk melegalkan pernikahan beda agama.





Dengan ditetapkannya keputusan ini, maka praktis permintaan pasangan beda agama yang mengajukan pernikahan akan ditolak di seluruh Indonesia.


Diajukan oleh Laki-laki yang Gagal Menikah Beda Agama


Sebelumnya, seorang laki-laki yang beragama Katolik bernama Ramos Petege sempat mengajukan permohonan melegalkan pernikahan beda agama kepada MK.


Permohonan tersebut diajukan oleh Ramos lantaran ia gagal menikah karena terbentur perbedaan agama dengan seorang perempuan yang beragama Islam.


Karena hal tersebut, Ramos kemudian menggugat UU Pernikahan kepada MK supaya kedepannya pernikahan beda agama bisa dilegalkan.


Ramos mengklaim bahwa peraturan tersebut membuatnya kehilangan kebebasannya dalam beragama lantaran harus pindah agama dahulu untuk menjalankan pernikahan.


Hakim MK Menolak Permintaan Ramos


Gugatan Ramos nomor perkara 24/PUU-XX/2022 sebelumnya sudah ditindaklanjuti oleh pihak MK yang telah menggelar sidang sebanyak 12 kali.


Berdasarkan keputusan dari sidang tersebut, hasilnya Ketua MK Anwar Usman menolak permohonan Ramos karena tidak ada urgensi yang mendesak.


“mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Anwar ketika membacakan putusan terkait permohonan tersebut.


“Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya, serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” tambahnya.


Sudah 2 Kali MK tolak Permohonan Beda Agama


Sebelum memutuskan permohonan dari Ramos tersebut, MK sebelumnya juga pernah mengurus permohonan nikah beda agama oleh sejumlah mahasiswa.


Putusan MK terhadap gugatan yang diajukan pada tahun 2014 itu juga sama dengan hasil putusan Ramos, yaitu sama-sama ditolak karena dianggap tidak memiliki urgensi.


“Perkawinan tidak boleh dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga harus dilihat dari aspek spiritual dan sosial,” tulis putusan MK kala itu.


“Agama menetapkan tentang keabsahan perkawinan, sedangkan undang-undang menetapkan keabsahan administratif yang dilakukan oleh negara,” tambahnya.


Posting Komentar

0 Komentar